SULING MISTIS ITU BERNAMA RUREN
Oleh : Ardi Firyasah – Seni Musik
Seniman Mengajar Flores Timur -
2019
Mendengar
kata suling, pasti pemikiran kita terbawa pada sejenis alat musik modern yang
sering dimainkan oleh anak-anak sekolah SD dan SMP. Dan bila kita mendengar
kata suling bambu, pasti yang kita pikirkan adalah sejenis alat musik
tradisional yang terbuat dari pohon bambu. Bagaimana bila kita mendengar kata
suling mistis? Sejenis alat musik apakah? Terbuat dari apa? Pikiran saya langsung
melayang dan terbawa suasana magis.
Hal
itu saya rasakan ketika berada di Desa Bantala, Kecamatan Lewolema, Kabupaten
Flores Timur, NTT. Program kegiatan seniman mengajar dari Direktorat Jenderal Kebudayaan,
membawa saya ke wilayah dengan suku asli bernama Lamaholot. Selama bergiat di
Ketika
saya mulai bersentuhan dengan cerita sejarah suku mereka, di saat itulah saya
merasakan aura mistis menghampiri. Tak ada hal aneh dalam suasana sekitar,
hanya saja cerita tersebut membangun atmosfer yang membuat bulu kuduk merinding.
Semakin penasaran, saya perdalam lagi cerita itu di kemudian hari. Hingga
akhirnya saya menemukan sebuah cerita yang terkait dengan alat musik
tradisional asli suku mereka, fungsinya di luar nalar manusia pada umumnya. Hal
ini membuat saya semakin penasaran lagi, dan akhirnya memberanikan diri untuk
berdialog dengan bapak tetua adat di
Cerita
sejarah itu dikenal dengan nama Nogo Ema (cerita rakyat Flores Timur) yang mempuyai
kesamaan dengan cerita rakyat Dewi Sri dari Jawa, menggambarkan tentang Dewi
kesuburan. Hal yang membuat saya tertarik dari cerita tersebut, ada sebuah alat
musik tradisional bernama ruren yang ketika dimainkan bisa berkomunikasi dengan
Sang Dewi. Sejak saat itu, ruren dianggap sakral oleh masyarakat setempat.
Secara
fisik ruren adalah sejenis suling bambu, dan tak ada yang aneh pada bentuknya. Hanya
saja ketika mendengar cerita proses pembuatan ruren, logika nalar saya mulai dibiaskan.
Menurut kepercayaan mereka, untuk membuat suling ruren ini harus dengan pohon
bambu yang adanya di daerah perbukitan atau gunung, jauh dari perkampungan
mereka. Konon, daerah tersebut menjadi awal kisah tentang alat musik ruren ini.
Sekalipun kita dapat pohon bambu itu, tidak otomatis bisa dibuat.
Dalam
bidang organologi, ruren dikategorikan sebagai alat musik tiup yang terbuat
dari pohon bambu. Panjang alat musik ini sekitar 30-35 cm dan berdiameter sekitar
2-4 cm. Disebut ruren karena artinya berpasangan (double/ganda). Lubang
suaranya berjumlah enam, dan susunan nadanya tidak berpatok pada tangga nada
diatonis. Jadi ruren itu adalah suling ganda yang dimainkan secara bersamaan. Hal
inilah yang membedakan ruren dengan suling bambu pada umumnya.
Membayangkan
satu orang memainkan dua suling saja, saya berpikir antara mungkin dan tidak. Tapi
faktanya terjadi dengan alat musik ruren. Cara memainkannya harus meniup dua
suling sekaligus. Jari tangan kanan dan kiri sama-sama bergerak memencet lubang
nada di dua suling tersebut. Sumber suaranya dari tiupan si pemain yang
mengalir ke lubang suara suling. Semakin kuat meniup, suara yang keluar semakin
keras dan jelas. Secara musikalitas, nada yang dihasilkan terdengar harmonis
dan enharmonis. Padahal dalam pembuatan nadanya tidak menggunakan alat standarisasi
yang berlaku secara umum. Dan hal ini yang menjadi keunikan alat musik
tradisional
Memainkan
alat musik ruren saya jadi teringat ketika belajar alat musik piano. Pelajaran dasar dari piano adalah, melenturkan
jari tangan kanan dan tangan kiri agar sama-sama mempunyai kekuatan memencet
tuts piano. Ketika kekuatan jari sudah ada, kemudian fokus pada pergerakan jari
kanan dan kiri yang kadang seirama dan tidak. Hal ini menjadi tantangan
tersendiri bagi orang yang baru belajar piano. Kesamaan memainkan ruren dengan
piano adalah, memfokuskan jari tangan kanan dan kiri untuk memencet nada hingga
tercipta permainan yang lincah dan lihai. Itulah substansi belajar alat musik
tradisional maupun modern.
Kembali
pada ruren, nada-nada yang tercipta dari alat musik ini terdengar magis dan religius. Untuk bisa mendapatkan suasana itu, saya butuh
penghayatan lebih dalam dan memfokuskan diri pada output suara yang dihasilkan.
Bahkan dalam cerita mitologi suku lamaholot, ruren pada masa lampau digunakan
sebagai alat musik ritual. Dipercaya sakral dan mampu menghubungkan manusia
dengan sang ilahi. Konon, dahulu kala ruren dijadikan sebagai alat untuk
berkomunikasi antar manusia, yang jaraknya dipisahkan oleh laut atau pulau
sekaligus. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menggunakan ruren sebagai alat
komunikasi, karena orang tersebut dipercaya memiliki kekuatan spiritualitas. Cerita
ini menambah nilai mistis buat saya ketika mendengarnya.
Menurut
Silvester Petara Hurit, seorang seniman teater sekaligus budayawan dari
Di
Indonesia, kisah alat musik mistis seperti ruren ada banyak tersebar di wilayah
nusantara. Masing-masing memiliki nilai magis
tersendiri sesuai kepercayaan masyarakat
setempat. Tak heran negara kita dikenal dengan sebutan multi culture, karena unik dan banyaknya budaya kita. Saya sendiri
melihat dan mendengar alat musik semacam ruren sudah kesekian kalinya. Hanya
saja prinsip yang selalu saya jaga adalah: dengan kita mempelajari dan
bersentuhan langsung, kita sudah melakukan penghormatan terhadap budaya
setempat. Karena esensi dari kebudayaan adalah menghormati.
Dan
saat ini riwayat kisah ruren sangat memperihatinkan. Eksistensi alat musik ini sudah
berkurang bahkan terancam punah. Peran pemerintah daerah dan pusat sangat
dibutuhkan sekali untuk merevitalisasi
kesenian ini. Saya sangat terenyuh ketika mendengar seorang etnomusikologi dari
perancis melakukan penelitian musik di beberapa wilayah Flores Timur. Orang
luar (non WNI) saja sangat antusias dan respect
terhadap budaya
BACA JUGA :
MUSIK SEBAGAI MEDIA PROTES - MARJINAL
MENGENAL BOB MARLEY LEBIH DEKAT
SPESIFIKASI KOMPUTER RECORDING
.jpg)
