Tampilkan postingan dengan label Marjinal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Marjinal. Tampilkan semua postingan

MUSIK SEBAGAI MEDIA PROTES - MARJINAL

Selasa, 03 Juni 2014



MUSIK SEBAGAI MEDIA PROTES 


    Komunitas Marjinal berdiri di Gg. Setiabudi, Srengsengsawah Jakarta Selatan melalui proses yang sangat panjang untuk bisa diterima oleh masyarakat setempat. Terkenal dengan anak-anak muda yang urak-urakan dan menyeramkan itu, teman-teman Marjinal harus bersusah payah untuk diakui oleh masyarakat lewat interaksi mereka yang bersahabat seperti ikut gotong royong, acara 17 agsustus, bikin workshop untuk anak-anak, dll.

    Dalam konteks ini, Marjinal hadir juga untuk membawa suatu perubahan pada masyarakat dalam hal kebebasan. Lewat acara-acara yang dibuat oleh mereka, Marjinal seolah-olah menjadi milik masyarakat juga sebagai wadah mengekspresikan kebebasan yang masyarakat miliki.


“maling-maling kecil dihakimi, maling - maling besar dilindungi”
“maling-maling kecil dihakimi, maling - maling besar dilindungi”




    Siapa sih yang tidak kenal sepenggal syair lagu diatas? Yupzz, inilah lagu yang sering kita dengar lewat teman-teman kita yang berpenampilan PUNK ini. Lagu ini sangat familiar diantara teman-teman kita yang sering di jalanan lho. Bahkan, tak sedikit anak-anak muda pun mengenal lagu ini sebagai lagu penggugah hati untuk memprotes terhadap sang penguasa (Negara). Marjinal, itulah nama dari sebuah komunitas atau kelompok band yang menciptakan lagu tersebut. Dengan bermarkas di wilayah Srengsengsawah, Jagakarsa tepatnya di Gg. Setiabudi Jl. Moh Kafi II No 39, mereka bebas mengekspresikan dirinya seperti apapun sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang membunuh kebebasan seseorang. Itulah Marjinal yang terkenal sebagai tukang protes kalau sudah membuat karya lagu, he..he.. ngeri juga ya sobat!! Kenyataan ini tim redaksi NIAT dapatkan yang diwakili oleh saudara Ardi untuk meliputnya ke markas mereka. Ketika mendekat sampai di pintu gerbang, atmosfer politiknya terasa banget lewat sebuah plang menjulang tinggi yang bertuliskan “Alam Raya Sekolahku”. Dan ternyata memang benar, itulah Marjinal yang lahir atas dasar politik Indonesia yang tidak sehat. Hal inilah yang melatar belakangi kelahirannya Marjinal, friends. Mau tahu lebih lanjut, simak laporannya berikuti ini.

    Menurut Mike salah satu penggagas dan pencipta lagu terbanyak di Marjinal, “protes yang kita angkat lewat lagu bukan semata-mata sebuah protes yang rekayasa melainkan, sebuah fenomena kehidupan yang membuat gw jenuh terhadap keadaan sosial yang tidak berpihak pada masyarakat lemah. Contohnya bisa kita lihat seorang maling ayam ataupun maling apalah yang terjadi, pasti masyarakat langsung menghakimi secara massal, tetapi coba kalau kita lihat para maling besar seperti koruptor yang sampai sekarang masih banyak berkeliaran, mengapa tidak di massalkan, inikan fuck off buat gw!!”, ucap pemuda ini dengan nada agak tinggi. Kenyataan ini juga yang membuat komunitas Marjinal lahir pada tanggal 22 Desember 1996. Berawal dari sebuah pertemanan di kampus grafika Jakarta Selatan dan mempunyai kesamaan pemikiran untuk melawan sistem yang fasis banget, maka pada saat itu dibangunlah sebuah jaringan yang bernama Anti Facist Racist Action (AFRA) sebagai wadah menuangkan isi protes tersebut. Kegiatan awal yang mereka lakukan pada saat itu masih sedikit dan sederhana untuk menuangkan isi protes seperti, membuat poster dari cukil kayu, lewat media visual, baliho, membuat lukisan, yang semuanya ini bertujuan untuk menggugah masyarakat khususnya anak muda untuk sadar melawan sistem fasis yang diusung oleh Orde Baru pada saat itu.

    Berkembang semakin berkembang, dibentuklah kegiatan baru yaitu kelompok band pada tahun 1997 dengan nama Anti ABRI pada saat itu. Mengapa Anti ABRI? Karena memang budaya kekerasan yang paling menonjol dari Negara adalah lewat ABRI ini. Pada saat spontan juga nama ANTI ABRI diubah menjadi ANTI-MILITARY karena nama ABRI sudah diganti. Dan akhirya, nama ANTI-MILITARY pun diubah juga untuk terakhir kalinya yaitu dengan mengganti nama MARJINAL. Konon katanya, nama Marjinal ini terinspirasi dari nama seorang tokoh buruh perempuan yaitu Marsinah….Marsinah….Marsinah….MARJINAL dehhh, he..he…! tapi secara prinsip nama Marjinal ini sebagai perwakilan dari keadaan kita yang memang benar-benar terpinggirkan, tutur Mike jawara musik rock di komunitas ini.

    Dengan secara kebetulan mereka bisa bermain musik yang bermodalkan gitar & jurus tiga kunci doang, kreatifitas mereka tetap mengalir lewat ciptaan lagu yang syairnya diambil dari kehidupan sehari-hari. Album perdana mereka telah dibuat pada tahun 1999 dan album kedua pada tahun 2000 dengan personil yang selalu berganti. Mereka selalu tampil dalam acara apapun seperti kawinan, hajatan, agustusan, dll. “pokoknya kami akan selalu tampil dalam acara apapun, yang penting musik kami dapat didengar oleh masyarakat dan dipahami sebagai alat komunikasi menuangkan protes yang kami angkat agar masyarakat tahu tentang apa yang telah terjadi di Negara kita ini (Indonesia)”, ucap Mike pemuda yang punya tattoo ikan di kepalanya.

    Tak sedikit dikalangan anak muda Jakarta yang tidak kenal dengan komunitas Marjinal. Dengan berciri khas seperti layaknya anak PUNK dan memakai kaos bertuliskan “MARJINAL”, mereka menyanyikan lagu-lagu teriakkan jiwa yang sangat khas dengan gema suaranya yang keras. Itulah para fans Marjinal yang berada di sudut-sudut Stasiun Depok Baru yang menjadi tempat tongkrongan ataupun berkumpul dengan kawan-kawannya. Dilihat dari segi penampilan bisa dikatakan para fans Marjinal ini memiliki keunikannya sendiri. Ada yang menindik banyak disekitar mukanya. Ada yang rambutnya di Mowhawk ke atas. Ada yang memakai pakaian anak kecil dan kalau dipake sangat street sekali. Ada yang mengenyot dot anak bayi, dan masih banyak lagi. Setidaknya inilah penampilan PUNK yang mereka percayai sebagai sebuah kebebasan diri sendiri, dan inilah arti sesungguhnya dari kata PUNK yang mempunyai sebuah ajaran Be Your Self (jadilah dirimu sendiri) “jangan batasi apa yang kau inginkan, tapi berikanlah kebebasan terhadap apa yang kau gunakan”!, tegas Mike dalam wawancara bersama redaksi NIAT. Dan yang lebih uniknya friends, teman-teman Marjinal mentafsirkan PUNK dengan penuh plesetan yaitu “Pemuda Urakan Nan Kreatif” (PUNK), wah benar-benar kreatif banget ya!

    Itulah Marjinal yang menganut ideologi PUNK sebagai sang pemula yang pertama kali meneriakkan ketidakadilan dan perlawanan terhadap sistem yang korup. Selain itu, PUNK jugsa sebagai sub-kultur yang berkembang pada tahun 80-an yang mengunggulkan rasa toleransi dan kebebasan orang. Semuanya itu mereka wujudkan juga dalam bermusik. Dengan bermain agak ngebeat banget, jiwa musik nge-PUNK sangat terasa bagi orang yang baru mendengarkan lagu-lagu mereka. Syair dan lirik yang mereka angkat pun berasal dari keadaan sosial di masyarakat lemah yang menjadi korban politik kotor di Indonesia. Semangat terhadap perubahan selalu menggelora di jiwa mereka lewat aksi bermain musik ini. Karena teman-teman Marjinal percaya bahwa lewat musik yang berunsur protes dan membangun, orang akan terbentuk karakternya sebagai seorang pemimpin yang berani untuk bangkit dari keterpurukan yang ada. Dan dari orang-orang yang berkarakter inilah akan menghasilkan tindakan kongkret terhadap sutau perubahan sosial. Wah ok juga ya friends semangat perubahan mereka…! Pokoknya sukses selalu deh buat Marjinal. (RMJ)